Kamis, 02 Juni 2011

Kalau Begini “PACARAN” Baru Islami

Kalau Begini “PACARAN” Baru Islami

Sebagian ada yang berpandangan bahwa Pacaran bukan produk Islam, bukan dari Islam, akan tetapi, budaya yang diinpor dari Barat. Mungkin tinjauan mereka adalah peraktek Pacaran yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita sekarang, mulai dari berduaan di tempat sepi, gandengan tangan, ciuman sampai kehubungan intim yang kesemuanya dilarang dalam Islam sebelum adanya pernikahan. Kalau memang begitu tinjauannya maka, penulis juga ikut mengamini pandangan mereka, akan tetapi, penulis punya tinjauan lain.

Menurut penulis Pacaran murni produk Islam dan dikenalkan oleh Islam, bahkan sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, Islam mengenalnya dengan istilah Khitbah, Bahasa Arab, hal ini dikarenakan Islam turun di Arab, seandainya Islam turun di Indonesia maka, kita akan mengenal khitbah dengan istilah lain, yaitu pacaran. Tinjauan penulis adalah definisi dari pacaran itu sendiri yang juga merupakan definisi khitbah yang diakui olah Islam dan dianjurkan.

ketika anda bertanya pada teman-teman anda tentang Pacaran secara definitive maka, mereka serentak akan menjawab bahwa pancaran adalah proses untuk saling kenal mengenal antara pasangan baik sebelum memilih untuk memutuskan pernikahan sebagai jenjang selanjutnya. Sekarang kita kedefinisi Khitbah yang dikenal dalam Islam. Khitbah adalah proses untuk mengenal sifat seorang yang hendak dinikahi sehingga nantinya si khatib bisa lega untuk melanjutkan hubungannya kejenjang selanjutnya, yaitu pernikahan. Definisi lain adalah penampakan rasa suka dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan yang hendak dinikahi atau permintaan kesediaan seorang perempuan untuk dinikahi.

Dengan tinjauan ini maka, Pacaran dengan Khitbah merupakan satu kesatuan yang dibuat pelantara untuk mengenal sifat dari masing-masing pasangan. Namun, tetap dalam naungan Syariat Islam. Karena itu, keduanya tak perlu untuk dibedakan.

Di masa-masa pengenalan tersebut pasangan punya kebebasan antara melanjutkan hubungannya kejenjang pernikah atau mengakhirinya mengikuti kecocokannya yang sedang dijajaki oleh keduanya. Dalam proses tersebut laki-laki juga diperkenankan untuk melihat wajah serta tangan si perempuan yang hendak dia nikahi, bahkan dalam sebagian keterangan diperkenankan untuk melihat semua bagian dari tubuhnya kecuali kemaluan dan lubang anusnya, dia juga diperkenankan kumpul bersama, serta bertutur kata. Namun, bukan berarti berduaan, bahkan harus ada orang lain dari mahramnya yang menemani. Hal ini untuk menghindari fitnah yang bisa saja terjadi di antara keduanya. Proses ini diperkenankan untuk dilakukan terus-menerus sehingga kedua pasangan bisa benar-benar menganal sifat antar satu dengan yang lain, sehingga nantinya bisa leluasa untuk melanjutkan hubungannya kepernikahan.

Namun, akhirnya proses di atas diselewengkan. Legalitas yang diberikan Islam tidak mereka lakukan sesuai dengan anjuran. Proses pengenalan diri mereka isi dengan adegan-adegan yang dilarang dalam Islam, bermula dari jalan bareng tanpa ditemani mahram, berduaan di tempat sepi, berpegangan, serta berciuman, bahkan juga sampai kehubungan intim. Kemudian proses yang seperti inilah yang dikenal masyarakat kita, sehingga akhirnya ada upaya pemisahan antara Pacaran dengan Khitbah padahal kedua merupakan proses dalam rangka pengenalan diri masing-masing pasangan.

Bila yang memperaktekkan budaya seperti ini mereka tak mengerti Agama mungkin bisa dimaklumi. Namun, sebaliknya, rata-rata pelakunya mereka yang mengerti agama, bahkan sangat disayangkan mereka masih mencari sebuah pembenaran untuk menguatkan pandangannya tersebut. Sebagian berpandangan bahwa berduaan, berpegangan, serta berhubungan intim merupakan bentuk pengajaran tata cara bergaul kepada dua pasangan. Sebagian berpandangan bahwa menyepi di tempat yang jauh dari pandangan manusia merupakan bentuk untuk mempelajari krakter dari masing-masing pasangan, dari sini keduanya bisa lebih mengenal satu sama yang lain dan bisa lebih mantap untuk melanjutkan pernikah sebagai langkah selanjutnya atau mengakhirinya. Dan masih banyak lagi pembenaran yang mereka dakwahkan untuk memperkuat pandangannya tersebut. Wallahu a’lam bi al-Shâwâb.

by : Ahmad Shanhaji Dumairi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar