Selasa, 31 Mei 2011

Pentingnya Pernikah Di Usia Muda

Pentingnya Pernikah Di Usia Muda

“Tengginah” nama kampung di mana saya lahir, di mana saya tumbuh dan besar, di mana saya bermain bersama teman-teman. Saya suka menyebutnya sebagai “Kampung Agamis” atau “Kampung Santri, karena di situ rata-rata penduduknya santri bahkan bisa dibilang semuanya pernah nyantri, makanya rata-rata mereka menjadi kiai, bahkan bisa dibilang kesemuanya, semuanya oleh kampung di sekitarnya dipanggil dengan sebutan “Bindereh” (julukan untuk seorang kiai) . Namun sayang, mereka tak ada yang punya santri. Herannya mereka semua betah dan tak risih dengan julukan tersebut.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, penduduk di kampung saya rata-rata adalah santri, bahkan bisa dibilang kesemuanya pernah nyantri. Namun, saya melihat SANTRI mereka definisikan sebagai orang yang sedang belajar agama saja. Santri hanya punya satu misi, yaitu belajar saja, makanya tak jarang dari mereka setelah nyantri yang nganggur, sedikit yang ngajar, sedikit yang dakwah, pengaruh dari pendefinisian yang salah.

Mungkin mereka berpandangan bahwa mgajar tak dapat mendatangkan uang begitu juga dakwah. Namun mereka juga jarang yang bekerja, gimana mau bekerja, sejak kecil mereka sudah di pesantren, belajar dan hanya belajar, mungkin karena hanya punya prinsip “Hanya Belajar” ini akhirnya mereka tak punya tujuan kedepan, sungguh sayang sekali, mereka orangnya cerdas-cerdas pasti bisa untuk memperbaiki Umat dan menjadi teladan Umat.

Konsekuensi selanjutnya mereka masih banyak yang belum membina keluarga, entah apa alasannya ?, akan tetapi faktor yang paling jelas adalah urusan ekonomi, faktor yang menyebabkan orang lari dari pernikah dan takut untuk menikah. Di sinilah intinya kenapa saya menulis catatan ini. Problem pernikahan yang sedang melanda kampung saya atau kampung lain di sekitarnya. Namun, dalam catatan ini saya tak mau menjadikan kampung tertentu sebagai objek secara khusus, akan tetapi saya mau berbicara problem ini secara umum untuk masyarakat secara umum.

Sebagai permulaan saya perlu menyebutkan bahwa menyegerakan pernikahan itu dianjurkan dalam Islam. Rasulullah mengawinkan putri-putrinya di usia dini. Fatimah putrinya beliau nikahkan dengan Sy. Ali di usianya yang kelima belas, bahkan menurut riwayat lain di bawah itu dan Sy. Ali pada saat itu berumur dua puluh tahun, Siti Aisyah kawin pada usia tujuh tahun ada juga yang mengatakan mengatakan di usia enam tahun.

Pernikah di usia muda sangat bagus untuk kesehatan. Menurut ilmu biologi perempuan yang lahir di bawah umur dua puluh tahun akan terjaga dari penyakit “Kangker Payudara”, hal ini dikarenakan perempuan secara fitrah tugasnya adalah melahirkan, karenanya ketika tugas ini diabaikan dengan menunda pernikah sampai usia tua maka, rawan menjadi perempuan mandul. Dikatakan, perempuan yang menikah di usia tiga puluh keatas rawan terkena mandul. Dengan menikah di usia muda berarti kita juga dapat memproduksi anak lebih banyak dan Islam telah menganjurkan hal ini. Dengan begini berarti kita juga ikut membantu Rasulullah, membantu Islam dan dapat menguatkan barisan dalam Islam.

Namun, kenapa yang kita saksikan sekarang adalah sebaliknya ?, kenapa mereka lebih memilih menikah di usia tua ?, bahkan kita banyak melihat mereka lebih memilih hidup sendiri dari berumah tangga ?, padahal Sy. Ali langsung menyegerakan pernikah kedua setelah ditinggal Siti Fatimah dengan alasan takut ketemu Allah sementara ia dalam keadaan tidak berumah tangga.

Ada banyak faktor kenapa hal di atas bisa terjadi, faktor-faktor tersebut saya ringkas menjadi tiga faktor, yaitu sebagai berikut :

Petama : Faktor yang berkaitan dengan etika. Mungkin anda telah menyaksikan moral dari perempuan-perempuan sekarang. Mereka sudah tak lagi menjaga kehormatannya sebagai seorang perempuan. Dari pergaulan, mereka cendrung bebas, berduaan, ngumpul bareng laki-laki lain bukan lagi hal yang tabu, bahkan lebih dari itu. Dari sini akhirnya laki-laki berpaling dari mereka, karena kehilangan rasa percaya kepada mereka. Bagaimana bisa bahagia berumah tangga, sementara perempuan yang mau laki-laki nikahi terlalu bebas bergaul ?. Ini semua pengaruh dari cara pandang barat yang sudah dikonsumsi masyarakat kita.

Kedua: Faktor budaya dan ekonomi. Di sini perlu rasanya saya mengenalkan budaya yang ada di desa saya. Sebenarnya mahar pernikahan di desa saya sangat murah, seratus ribu bisa menikah. Namun, yang mahal adalah proses menuju nikah, dimulai dari Khitbah. Di masa-masa khitbah pelamar harus benar-benar perhatian sama yang dilamar, perhatian tersebut sifatnya lebih ke materi. Jadi, pelamar harus menyalini baju sang perempuan ada yang setiap bulan ada yang dalam setiap even penting seperti hari raya. Semua ini adalah keharusan, bahkan sudah seperti kewajiban yang bila tak dipenuhi maka, akan berakibat gagalnya perkawinan. Ini cuma satu contoh saja.

Dalam prosesi pernikahan biasanya pihak perempuan meminta pihak laki-laki agar dia menyediakan pelaminan, entah apa faktornya, mungkin karena perempuan suka menampilkan diri dan memajang diri, padahal biaya pelaminan tersebut sangat mahal. Ini juga sudah seperti kewajiban yang harus dipenuhi pihak laki-laki yang berujung pada gagalnya pernikahan jika diabaikan. Pernah ada yang bercerita kepada saya bahwa ada sebagian warga yang menggagalkan pernikah putrinya gara-gara calon suaminya tak dapat menyediakan pelaminan. Yang lebih miris lagi akhirnya warga harus memaksakan diri untuk memenuhi panggilan tersebut hingga tak jarang dari mereka yang ngutang uang hanya karena untuk memenuhinya, padahal Rasul cuma menganjurkan walimah walaupun cuma dengan satu kambing.

Ketiga :
faktor ekonomi, seperti mahalnya mas kawin, biaya lamaran, akad, bulan madu, biaya walimah dan persyaratan tempat tinggal yang mahal dll. Maka, sebagai solusi kita harus kembali lagi ke Islam yang Rahmatan Li al-Âlamîn dan mempermudah jalan menuju pernikah, agar kita semua bisa menikah di usia muda, karena anak muda di usia mudanya punya semangat yang tinggi untuk membangun keluarga yang bisa menjadi tiang Umat dan kekuatan Umat Islam. Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.


By : Ahmad Shanhaji

Nudzum Islamiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar